businessmails.biz best way to earn money

Jumat, 24 Juli 2009

SOLIDARITAS UMAT ISLAM UNTUK KORBAN AL-ZAYTUN SESAT ( SIKAT )

WAJARLAH kalau ada yang sakit hati ditindas oleh NII Al Zaytun!
Apalagi mereka yang masih ada IMANNYA
Sebuah Hadits menyatakan:”Mukmin dengan Mukmin itu BERSAUDARA - BAGAIKAN SATU TUBUH - Bila Ada Anggota Tubuhnya Yang Sakit - Maka akan dirasakan oleh SELURUH anggota yang lain” (HR.Buchori-Muslim)
Kami yakin keberadaan http://www.nii-crisis-center.com bukanlah sebagai BARISAN SAKIT HATI atau mereka YANG IRI HATI-PENDENGKI.
Kami meyakini mereka adalah Golongan yang SEDIKIT masih mau PEDULI dengan nasib Saudaranya Seiman & Seperjuangan
Hanya Ridho Allah swt yang mereka harapkan, ditengah sejuta PAMRIH, Materialisme dan ketidakpedulian ORMAS Islam & Ulama - dan KITA SEMUA yang masih mengaku Menegakkan Dienul slam
Kami juga sangat meyakini dijajaran website ini adalah mereka yang juga mencita-citakan IDEALISME yang sama dengan para jama’ah NII Al Zaytun
Kamipun yakin niat tulus website ini untuk setidaknya ‘mengurangi’ bahkan membendung arus kerusakan yang diakibatkan oleh MESIN PENGHANCUR AQIDAH, PENINDAS SYARI’AH & PERUSAK MUAMALAH - UKHUWAH sebuah BERHALA MADE IN THOGUT - INTELEJEN NEW ORBA bernama MA’HAD AL ZAYTUN
Semoga Allah swt memaafkan kita semua, untuk saling menasehati dalam kebenaran dan terus memperjuangkannya dalam kesabaran.

SATU KATA ‘LAWAN’ SEGALA BENTUK PENINDASAN & KETIDAKADILAN
Itulah ALASAN UTAMA 15 Tahun lalu Aku Memilih Masuk NII
Lalu aku ‘kaslan’ keluar dari NII - dan melawan Kedzaliman Abu Toto

Salam Rindu
untuk Semua Saudaraku, terutama :
SIKAT
Segelintir Pejuang Anti Berhala Al Zaytun, dan
Jama’ah NII KW9 - Al Zaytun

Doktrin Dan Ajaran NII KW9 Al-Zaytun INDRAMAYU

Membicarakan tentang hubungan agama dan negara, akan mengantarkan kita pada satu pertanyaan klasik: “Apakah Islam itu agama atau negara?” Pertanyaan ini segera menggiring pikiran orang kepada klasifikasi rasional dualistik terbatas yang menghipotesiskan dua kemungkinan, Is“lam adalah agama, bukan negara” atau “Islam adalah agama sekaligus negara”. di masa Rasulullah dan sahabat, Muhammad Abid al-Jabiri memaparkan beberapa data. Pertama, orang-o Merujuk kepada fakta-fakta sosial historis yang membingkai tema “agama dan negara”rang Arab ketika Nabi Muhammad diutus tidak mempunyai raja dan negara. Pada waktu itu sistem sosial politik di Mekkah dan Yatsrib (Madinah) adalah sistem sosial kesukuan yang belum memenuhi persyaratan sebuah negara, seperti berpijak pada wilayah teritorial tertentu dengan sejumlah penduduk yang tinggal di wilayah tersebut dan adanya kekuasaan pusat yang bertindak mengatur masalah bersama sesuai undang-undang dan kebiasaan, serta penggunaan kekerasan jika situasi menuntut. Masyarakat jazirah Arab sebelum Islam tidak mengenal kekuasaan seperti ini, baik mereka yang di kota maupun yang di luar kota. Kedua, seiring dengan diutusnya Nabi Muhammad, kaum Muslim mulai mempraktikkan agama baru yang bukan saja merupakan sikap individual di hadapan Tuhan namun juga merupakan perilaku sosial yang teratur. Perilaku sosial ini semakin berkembang dan teratur bersamaan dengan perkembangan dakwah Islam hingga mencapai puncaknya setelah Nabi hijrah ke Madinah. Pada masa itu, meski pada praktiknya Rasulullah merupakan seorang pemimpin, komandan sekaligus pembimbing masyarakat Muslim, beliau tidak pernah menyatakan dirinya sebagai raja atau pemimpin negara. Beliau, dan juga kaum Muslim saat itu, tetap menganggap dan memposisikan diri Muhammad sebagai Nabi dan Rasul. Perbedaan antara dua posisi ini adalah bahwa seorang pemimpin politik dan komandan militer membatasi perhatiannya hanya pada persoalan-persoalan dunia semata, yaitu soal pemerintahan dan politik serta hal-hal yang terkait dengannya seperti soal-soal ekonomi, sosial dan budaya. Adapaun seorang yang berkedudukan sebagai Nabi dan Rasul, perhatian dan dakwahnya terfokus pada persoalan akhirat, yakni hidup sesudah mati. Setelah itu baru menengok pada hal-hal yang ditentukan oleh perkembangan dakwah dan amal serta pengaturan masalah-masalah duniawi baik pada tatanan ibadah maupun hubungan antar manusia. Semua masalah duniawi tersebut sesungguhnya bukan merupakan tujuan kenabian Muhammad melainkan dilaksanakan semata-mata dalam rangka menyebarkan dan mempertahankan agama.

Ketiga, bahwa hal-hal yang ditentukan oleh perkembangan dakwah Islam berupa pengaturan persoalan-persoaian dunia telah mencapai taraf yang mapan dan luas, sehingga para sahabat dekat Rasul merasa bahwa ketiadaan Rasulullah akan berarti kekosongan institusional. Walhasil dakwah Nabi telah berakhir bersamaan dengan terbentuknya satu negara atau sesuatu yang menyerupai negara. Jika agama adalah wahyu Allah yang tidak seorang pun berhak mewarisi atau menggantikan Rasulullah, maka pengaturan politik dan ekonomi masyarakat yang tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan dan penyebaran dakwah membutuhkan adanya orang yang menjaga, mengatur serta memperhatikan perkembangannya setelah Rasulullah wafat. Hal ini menunjukkan para sahabat menyadari bahwa dakwah Islam praktis telah berkembang menjadi sebuah negara. Keepat, perdebatan yang terjadi di Saqifah Bani Sa’idah yang berakhir dengan pemba’iatan Abu Bakar sebagai khalifah merupakan perdebatan politik murni damn diselesaikan berdasarkan pertimbangan kekuatan sosial politik kesukuan waktu itu. Dengan demikian para sahabat menangani persoalan khilafah dengan penanganan politik murni. Mereka menganggap persoalan itu merupakan persoalan ijtihadiyah, sehingga dalam hal ini mereka mempertimbangkan masalah kekuatan (power), potensi, kemampuan serta kemaslahatan masyarakat dengan cara memperhitungkan logika kesukuan yang berlaku waktu itu, bahwa orang-orang Arab tidak akan tunduk kecuali dipimpin oleh kaum Quraisy. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa persoalan “hubungan antara agama dan negara” tidak pernah terlontar di zaman Nabi maupun sahabat; dan sesungguhnya politiklah, dan bukan agama, yang menjadi materi perdebatan dan perbedaan, dan dalam kerangka politik itulah dibuat kesepakatan dan keputusan

Kembali ke pertanyaan awal “Apakah Islam itu agama atau negara?” Apapun jawabannya, ada satu hal yang tidak bisa dibantah, bahwa Islam terdiri dari aqidah dan syariah. Jika aqidah terfokus pada persoalan iman, maka syariah selain terdiri dari aturan-aturan ibadah yang termasuk bidang hubungan manusia dengan Tuhan juga memuat hukum-hukum yang berwatak sosial yang mengatur nya satu kekuasaan untuk bisa melaksanakannya, seperti pelaksanaan hukuman dan sanksi (al-hudud wahubungan antarmanusia. Adanya hukum-hukum yang berwatak sosial ini mau tidak mau meniscayakan ada al-uqubat). Selain itu, ada kewajiban mempertahankan wilayah teritorial Islam sebagai satu kewajiban keagamaan yang termasuk dalam masalah jihad. Semuanya ini dibahas dalam suatu topik besar yang menjadi salah satu cabang ilmu fiqh yaitu fiqh siyasah, yang salah satu bahasan pokoknya adalah masalah imamah.

Dalam wacana fiqh siyasah, kata imamah biasanya diidentikkan dengan khilafah. Keduanya menunjukkan pengertian kepemimpinan tertinggi dalam negara Islam. Terdapat perbedaan di kalangan fuqaha tentang landasan berdirinya imamah atau negara Islam. Satu kelompok memandang bahwa imamah merupakan bagian dari prinsip ajaran agama, karena memelihara kemaslahatan adalah suatu kewajiban dan negara menjadi sarana yang vital untuk mencapainya, maka ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib. Sedangkan pendapat lain mengatakan, bahwa pendirian negara bukanlah salah satu asas atau dasar agama, malainkan hanya kebutuhan praktis saja. Teks-teks Al-Qur’an dra agama dan negara secara rinci dan jelas. Oleh karena itu pertimbangan mendirikan negara adalah kemaslahatan. Kalau tanpa negara sudah teran Sunnah tidak mengatur hal-hal yang berkenaan dengan pemerintahan dan politik. Demikian juga keduanya tidak terlibat dengan persoalan hubungan antacipta kemaslahatan, maka negara tidak dibutuhkan.

Meskipun demikian, hingga awal abad ke-20, pandangan bahwa antara fungsi religiumerupakan agama dan negara sekaligus. Penegakan institusi imamah atau khilafah, menurut para fuqaha, mempunyai dua fungsi, yaitu menegakkan agams dan fungsi politik imam atau khalifah tidak dapat dipisahkan begitu kental yang akhirnya melahirkan pendapat di kalangan pemikir Muslim bahwa Islama Islam dan melaksanakan hukum-hukumnya, serta menjalankan politik kenegaraan dalam batas-batas yang digariskan Islam. Abd al-Qadir Audah mengatakan bahwa khilafah atau imamah adalah kepemimpinan umum umat Islam dalam masalah-masalah keduniaan dan keagamaan untuk menggantikan fungsi Nabi Muhammad SAW dalam rangka menegakkan agama dan memelihara segala yang wajib dilaksanakan oleh segenap umat Islam.

Namun yang perlu diwaspadai adalah imamah itu harus ditegakkan dengan cara yang baik dan dibangun di atas nilai-nilai kebenaran dan keluhuran Islam itu sendiri (nashr al-haqq bi al-haqq, menegakkan kebenaran di atas landasan dan dengan cara yang benar pula), sehingga absah untuk disebut sebagai khilafah ‘ala minhaj al-nubuwwah, karena tidak diintervensi oleh hawa nafsu atau dibangun di atas aqidah yang menyimpang. Harus diakui, masalah imamah merupakan tema yang rentan dengan kepentingan politik dan tunduk pada kebutuhan serta logika politik. Mereka yang berkepentingan sering mengedepankan penafsiran terhadap sebagian teks-teks keagamaan secara berlebihan sehingga melampaui makna yang terkandung oleh teks-teks itu sendrii.

Sampai saat ini, kita tidak pernah memperoleh kejelasan apakah Indonesia adalah negara agama (Islam), atau negara sekuler, bahkan ada kecenderungan untuk menolak keduanya, bukan negara agama pun bukan negara sekuler. Indonesia disebut bukan negara sekuler karena pemerintahannya sangat memperhatikan masalah agama dan memberikan keleluasaan beragama, bahkan Departemen Agama dibentuk untuk mengatur kegiatan keagamaan masyarakat. Tetapi, negara ini juga bukan negara agama, karena tidak didasarkan pada agama tertentu. Ketidakjelasan ini mungkin yang ikut mendorong munculnya kecenderungan politisasi agama; dan politisasi agama amat membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa.

Peranan agama (Islam) dalam ranah perpolitikan Indonesia masih sangat besar, karena penduduk Indonesia kebanyakan beragama Islam, sehingga agama dianggap paling efektif mempengaruhi massa dan untuk memperoleh dukungannya kpeada partai atau gerakan politik tertentu. Apalagi masih kuatnya anggapan, kekuasaan itu bersifat sakral karena dianugerahkan Tuhan kepada orang-orang tertentu untuk mewakili kekuasaan-Nya di dunia. Anggapan demikian mengakibatkan pergulatan untuk memperoleh kekuasaan dan usaha mempertahankannya dijadikan bagian dari agama.

Menguak hubungan antara NII dengan Ma’had Al-Zaytun memang bukan perkara yang mudah. Meskipun penelitian yang dilakukan oleh MUI telah mengungkap indikasi adanya hubungan dalam masalah kepemimpinan dan alokasi finansial, tapi bagaimana dengan hubungan ideologis dan doktrinal di antara keduanya. Menurut tim peneliti, penelitian MUI juga menghasilkan kesimpulan yang secara logika masih dipertanyakan, di mana diyakini bahwa doktrin dan ajaran NII adalah sesat, namun di sisi lain tidak ditemukan penyimpangan ajaran mautakan menyimpang — mau secara sukarela mengucurkan dana membiayai proyek besar Ma’had Al-Zaytun kalau keduanya tidak sebangun dalam paham dan ideologi, atau paling tidak mempunyai target dan tujuan yang sama?

Kesulitan mengungkap keterkaitan ideologis antara NII dan Ma’had Al-Zaytun agaknya bisa dipahami bila kita memperhatikan struktur besar organisasi NII. Sebagaimana digambarkan dalam skema struktur organisasinya,NII terbagi dalam dua struktur; ypun perilaku keagamaan di Ma’had Al-Zaytun. Pertanyaannya adalah, bila kepemimpinan dalam NII dan Ma’had Al-Zaytun dipegang oleh orang-orang yang sama atau dari sumber yang sama, bagaimana hal itu tidak berimbas pada kesamaan ajaran dan ideologi? Selanjutnya, bagaimana NII —yang dikaang pertama adalah struktur teritorial yang diwujudkan dalam hirarkis organisatoris dengan bentuk pengajian NII dengan para mas’ul atau aparatnya. Struktur teritorial ini merupakan gerakan rahasia bawah tanah dengan doktrin dan ajaran yang dinilai mendistorsi ajaran agama Islam dan mempunyai tujuan yang tidak kondusif bagi kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Struktur kedua adalah yang mereka sebut dengan struktur fungsional, yang dijelmakan dalam bentuk proyek besar lembaga pendidikan Ma’had Al-Zaytun. Komunitas Ma’had Al-Zaytun inilah yang dianggap oleh warga NII sebagai model dan miniatur yang menggambarkan masyarakat dengan tata cara kehidupan yang dicita-citakan. Itulah gambaran al-Madinah al-Munawwarah pada zaman Nabi.

Sementara itu, untuk memutus rantai hubungan antara NII dan Ma’had Al-Zaytun demi meminimalisasi kecurigaan yang barangkali akan timbul, di dalam struktur fungsional ini (Ma’had Al-Zaytun) segala doktrin dan ideologi yang tidak populer (menyimpang) — sebagaimana terdapat di dalam struktrur teritorial (pengajian NII) —tidak boleh diajarkan secara radikal, langsung, dan terbuka. Di sini doktrin dan ideologi tersebut harus ditanamkan secara halus dan gradual sehingga tidak terkesan vulgar dan tidak mengundang sorotan yang berlebihan. Hal terpenting yang harus dilakukan oleh Ma’had Al-Zaytun sebagai representasi struktur fungsional adalah mengekspos semua kelebihan dan keunggulan mereka untuk menarik kekaguman masyarakat Indonesia.[ Oleh karena itu, data-data dalam penelitian ini diusahakan dapat mengungkap ada tidaknya hubungan ideologis, keterkaitan politis, dan kesamaan ajaran antara NII dan Ma’had Al-Zaytun.

Sebagaimana dimaklumi bahwa konsep dasar dalam filsafat politik adalah konsep tentang negara. Semua gagasan politik lainnya selalu dikaitkan dengannya, baik secara langsung maupun tidak langsung. NII sebagai gerakan keagamaan (religious movement] yang menjadikan terwujudnya negara Islam sebagai tujuan akhir (ultimate goal), juga selalu mengaitkan doktrinnya dengan usaha pembentukan negara Islam yang dimaksud, sehingga setiap ajaran yang terdapat di dalamnya bisa dikatakan bersifat politis, baik itu di bidang akhlah, ibadah, maupun mu’amalah. Maka tidak bisa dihindarkan, dalam tahapan-tahapan seperti itu akan terjadi berbagai distorsi pemahaman terhadap Al-Qur’an, bahkan deviasi penafsiran, karena semuanya mengacu pada program pembentukan negara.

Sementara itu, untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-citanya, ada lima hal yang dicanangkan sebagai kerangka acuan program pembangunan NII yang diistilahkan dengan Binayatul Khamsah, yaitu Binayatul Aqidah, Binayatul Dzarfiah, Binayatul Mas’uliyah, Binayatul Maliyah, dan Binayatul Shilah wal Muwasholah.

1. Binayatul Aqidah

Binayatul Aqidah atau pembinaan aqidah merupakan program awal yang harus diikuti dan diberlakukan oleh semua warga NII. Program ini mengacu pada firman Allah surat Ali Imran:164:

“Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah (tilawah), membersihkan (jiwa) mereka (tazkiyah), dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah (ta’lim). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, rnereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”

Tafsiran secara operasional dari ayat ini adalah adanya kewajiban tilawah, tazkiyah, dan ta’lim bagi setiap jama’ah dan aparat yang ada di bawah koordinasinya. Adapun yang dimaksud dengan kewajiban tersebut adalah:

1. Tilawah. Program ini merupakan rekrutmen terhadap orang yang belum menjadi warga untuk masuk ke dalam kelompok NII. Setiap anggota (umat) diwajibkan mengajak orangtuanya, keluarganya, teman-temannya, dan siapa saja yang ditemuinya. Niat dari misi ini. Pada awalnya adalah amar ma’ruf nahi munkar, tetapi ketika orang sudah masuk jama’ah dia menemukan dirinya telah terperangkap dan sulit melepaskan diri lagi.
2. Tazkiyah. Program ini lanjutan dari program tilawah, yaitu proses pembersihan aqidah dari pengaruh pemahaman keagamaan sebelumnya (brain-washing). Pembinaan dilakukan oleh pimpinan yang berujung pada eksploitasi finansial dengan dalih bahwa misi memerlukan dana dalam jumlah yang besar. Barangsiapa tidak mematuhi akan dicap dengan status munafiq atau fasiq.
3. Ta’lim. Rapat laporan kerja harian para mas’ul atau umat. Dalam acara ini juga diberikan doktrin untuk memperkuat keyakinan mereka tentang NII, bahwa di tangan mereka futuh Makkah (pembebasan Indonesia) akan dimulai.

Inti pembinaan aqidah ini tidak lain menjadikan tauhid mulkiyah sebagai pressure oriented untuk menjadikan politik pencapaian kekuasaan dan kedaulatan sebagai “panglima” dari pemikiran, kesadaran, dan gerakan.

2. Binayatul Dzarfiah

Binayatul Dzarfiah ini merupakan pembinaan teritorial, dan program ini mengacu pada firman Allah surat Al-Anbiya’: 105 yang berbunyi:

“Sungguh telah Kami tetapkan dalam Kitab Zabur setelah (Kami tulis dalam) Lauhul Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai oleh hamba-hamba-Ku yang sholeh.”

Tafsiran secara operasional dari ayat ini menerangkan bahwa sejak diproklamasikannya lembaga NII oleh SM Kartosoewirjo, telah sah negara Indonesia ini diwarisi oleh orang-orang Muslim Indonesia. Maka dibentuklah tujuh tingkatan hirarki struktural teritorial. Pembagian strukrur dan wilayah menggunakan sistem sel untuk memudahkan memutuskan jaringan bila terjadi kondisi darurat, juga dalam gerakannya mereka menggunakan kode-kode dan nama-nama samaran —yang mereka sebut sebagai ism tsani — agar tidak mudah dikenali dan dideteksi olch orang-orang di luar kelompoknya.

3. Binayatul Mas’uliyah

Binayatul Mas’uliyah yang menjadi sarana pembinaan aparat ini mengacu pada QS. Al-An’am: 165:

“Dan Dialah yang menjadikan kami penguasa-penguasa di dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang telah diberikan-Nya kepadamu. Sbumi esungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Tafsiran operasional dari ayat ini adalah demi lancarnya jalan roda pemerintahan, NII sangat membutuhkan mas’ul atau aparat yang bertugas melaksanakan dan mengawal program negara. Kepada jama’ah yang sudah masuk dalam lembaga NII diberi hak untuk menjadi mas’ul atau aparat tersebut, setelah dia menyetorkan sejumlah dana yang ditetapkan oleh lembaga untuk keperluan pengangkatan dan pelantikannya.

Untuk menjaga koordinasi di antara mereka, dibuatlah program mutasi dan perombakan aparat struktural (tahawwul) yang sebenarnya dimaksudkan untuk membersihkan lembaga dari aparat-aparat yang kritis dan bermasalah, di samping juga sebagai sumber pemasukan dana dari mas’ul yang akan dilantik dan dinaikkan tingkatannya yang besarnya sesuai dengan jabatan baru yang akan diperoleh.

4. Binayatul Maliyah

Program pembangunan finansial ini dicarikan dasarnya dari QS. At-Taubah: 11 dan 103 yang berbunyi:

“Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan rnenunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudara kamu seagama.” (QS. At-Taubah: 11).

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu karnu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah: 103).

Selain kedua ayat di atas juga banyak disitir ayat-ayat lain yang berkaitan infaq, zakat, dan shadaqah. Tafsiran secara operasional dari ayat-ayat tersebut adalah bahwa berinfaq, berzakat dan bershadaqah merupakan satu keharusan bagi para warga, dan mengeluarkan harta menjadi bukti dari kecintaan mereka kepada negara. Maka untuk lebih tertibnya manajemen dan sirkulasi keuangan ditetapkanlah berbagai sumber keuangan negara. Sumber-sumber tersebut adalah nafaqah daulah, harakah Ramadlan, harakah qurban, qiradl, akikah, shadaqah khas dan lain sebagainya.

Dalam praktiknya program binnyatul maliyah ini tidak lebih hanya merupakan mobilisasi dana dari warga dan aparat yang diterapkan secara paksa, dan di lapangan hal ini menjadi beban berat bagi yang bersangkutan sehingga terjadilah aksi tubarrirul washilah (menghalalkan segala cara) demi memenuhi target dana yang harus disetor.

5. Binayatul Shilah wal Muwasholah

Program ini merupakan sarana komunikasi yang harus dibangun dengan mengacu pada QS. An-Nisa’: 59:

“Hai orang-orang yang berirnan, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kamu…”.

Tafsiran operasionalnya adalah bahwa untuk menjalin komunikasi dari dua arah maka dibuatlah program khusus tentang ini dengan menggunakan dua istilah. Komunikasi datan dari umat dan memberi proteksi agar tidak terjadi infiltrasi dari pihak luar, di samping juga sebagai sarana untuk mengawal seluruh program negara.ari bawah ke atas diistilahkan dengan ittishal dan komunikasi dari atas ke bawah memakai istilah silaturrahmi. Jalur ini dibuat untuk menjaga nilai-nil]

Dari pengamatan dan penai ketaSegala komunikasi harus tetap dilakukan dengan prinsip kahfi, di mana antara satu idariyah dengan idariyah yang lain dibuat tidak saling mengsanya dilakukan di sebuah kamar/ruangan yang tidak diketahui pemiliknya. Pemberi materi pengajian tidak dikenal secara baik oleh pesertanya, bahkan seenal.[8elitian di lapangan, gerakan NII ini bisa diidentifikasi dengan ciri-ciri sebagai berikut. Pertama, pengajiannya bersifat eksklusif dan tertutup, biaring menggunakan nama samaran. Kedua, materi pengajian berupa kajian terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang ditafsirkan menurut kepentingan mereka, sehingga pengambilan hujjah dari Al-Qur’an terkesan sekedar mencari legitimasi atas sebuah pemahaman, tanpa rujukan dari hadits dan tafsir bahkan bahasa Arab yang benar. Ketiga, orientasi gerakan terfokus pada mobilisasi dana, bahkan ada persepsi di kalangan mereka bahwa harta orang-orang di luar kelompoknya adalah halal (untuk dijarah) karena dianggap sebagai harta fa’i (harta rampasan perang). Keempat, banyak mengabaikan ibadah fardlu semacam shalat dan puasa, dengan dalih aktivitas dakwah mereka lebih utama dari ibadah-ibadah ritual tersebut; atau dengan anggapan bahwa saat ini mereka masih ada di “periode Mekkah” sehingga macam-macam ibadah itu belum diwajibkan.

Hal yang terakhir ini mendapat tanggapan dari orang-orang yang mengaku konsisten dengan perjuangan Kartosoewirjo. Mereka mengatakan:

“Negara Islam Indonesia diproklamasikan sebagai wadah terlaksananya hukum Islam, tempatm Qanun Asasi Negara Islam Indonesia. Jadi bila yang mengaku sebagai warga NII, tetapi meremehkan syari’at apalagi sampai menganggap shalat di mana Islam dijadikan dasar segala sesuatu, negara di mana al-Qur’an dan hadits shahih dijadikan hukum tertinggi. Hal demikian jelas terundangkan dalatidak wajib, maka orang tersebut bukan saja keluar dari pangkuan negara, malah keluar dari Islam sama sekali.”
Team NCC

KEBANGKITAN ISLAM ATAUKAH MEREDAM KEBANGKITAN ISLAM

Majalah AL-Zaytun merupakan corong mercu suar AS Panji Gumilang cs sebagai alat propaganda utama, juga tak ketinggalan pula menebar agen – agen jurnalisnya sebagai antek – anteknya demi kepentingan – kepentingannya. Dan kalaupun kita membaca berita – berita dan laporannya hanya satu obsesinya, agar publik ummat islam Indonesia selalu percaya dan tetap menggantungkan seluruh kemajuan islam dan kebangkitan islam pada Ma’had Al-Zaytun dan AS Panji Gumilang semata, pada yang lainnya tidak ada. Inilah yang dicoba terus dan dipertahankan agar image itu tetap melekat pada nama Al-Zaytun saja. Sehingga segala cara apapun harus ditempuhnya.

Ada satu hal pokok yang tak pernah diulas oleh Majalah Al-Zaytun dan AS Panji Gumilang selama ini, yaitu tentang Syariat Islam. Meski kapasitasnya dia sebagai imam NII KW IX maupun sebagai Syakh Al-Ma’had Al-Zaytun, tetapi kristalisasi aktualitas keislaman dan keimanannya telah keluar dari ajaran yang hanif. Ataukah itu memang cermin yang tepat atas trademark dirinya sebagai aliran sesat yang menyesatkan. Pantaslah sedikitpun ia tak pernah bicara terbuka didepan publik tentang syariat islam sebagai rahmatan lil allamin, kalau dia bicara begitu itu sangat berbahaya bagi kepentingan diri dan masa depan politik dan bisnisnya dengan Al-Zaytun sebagai kendaraannya. Sebagai contoh paling aktual adalah ada seorang penulis lain yang bukan termasuk agen – agen jurnalis AS Panji Gumilang, yang menceritakan pengakuan dan kesaksian kepada penulis bahwa ia pernah menulis di sebuah surat kabar ‘ x ‘ yang isinya punya semangat itjihad luar biasa bahkan terkesan agak radikal revolusioner, dimarahi dan diperingatkan penulis tersebut dengan mengatakan,’’ Tahu nggak kamu, tulisan kamu itu sangat berbahaya sekali bagi Al-Zaytun dan AS Panji Gumilang, bisa – bisa gara – gara tulisanmu itu Al-Zaytun bisa ditutup, mengerti. Dari pengakuan tersebut telah jelas dan bisa ditarik kesimpulan. Bahwa Al-Zaytun hanyalah kamuflase, sebagai alat untuk menghancurkan islam dari dalam. Ketika ummat islam banyak berharap dari sini ternyata beragam jurus tipu muslihat dikembangkan dan dipraktekkan dengan nyata. Lalu masihkah ummat berharap kebangkitan islam muncul dari sini, ingat stop cukup sampai disini saja, jangan teruskan. Pada dasarnya Ma’had Al-Zaytun hanyalah ingin meredam kebangkitan islam ke jurang paling dalam. Kalau tidak kenapa agen – agen Orde Baru, Intelijen dan Amerika bermain dan punya kepentingan disini.

Bicara kebangkitan islam bukanlah melalui sarana dan prasarana pendidikan hebat semata, kalau memang kunci variabelnya dari sini, padahal hakikatnya adalah palsu, semu, penuh rekayasa dan penelikungan arah tujuan sejati maka ujung – ujungnya adalah distorsi besar – besaran atau pengkhianatan/ penodaan atas makna islam sebagai doktrin ideologi dan media rahmatan lil allamin. Kebangkitan islam tidak mesti 100 persen dikonotasikan dan diidentikkan dengan keajaiban – keajaiban fisik yang futuristik, tetapi yang lebih essensial dan fundamental adalah kesadaran ummat islam dan para pemimpinnya akan pentingnya syariat islam sebagai indikator lahirnya tunas – tunas rahmatan lil allamin. Sebagai sebuah fenomena terkini lihatlah Kabupaten Bulukamba, di Sulawesi Selatan, dimana Bupati dan rakyatnya menyadari sepenuhnya, bahwa islam tidaklah seexstrim, sekejam dan seangker yang distigamtisasi oleh musuh – musuh islam. Dan bahkan yang lebih menggembirakan dan menggairahkan masyarakat non islampun menikmati hasil dari buah yang ditanam dengan penuh suka cita, sehingga roda ekonomi berputar pada semua lapisan tanpa terkecuali dan naik beberapa digit tingkat kemakmurannya serta menurun tajam tingkat kriminal dan kejahatan. Sungguh fantastis. Itu baru secuil contoh, lalu bagaimana kalau islam memegang tampuk kekusaaan seperti di masa Rasulullah dan sahabatnya. Tentu lebih daripada itu.